Bejana Kosong

Filipi 3:8

Alkitab mencatat sebuah kisah mengenai orang Farisi dan pemungut cukai yang datang ke hadapan Tuhan (Luk 18:9-14). Orang Farisi mempertunjukkan bejana hidupnya di hadapan Tuhan dengan menyatakan, “Ya Allah, aku mengucap syukur kepadaMu, karena aku tidak sama seperti semua orang lain, … aku memberikan sepersepuluh dari segala penghasilanku.” Di sisi lain, pemungut cukai datang dan berdiri jauh-jauh, bahkan ia tidak berani menengadah ke langit, melainkan ia memukul dirinya dan berkata, “Ya Allah, kasihanilah aku orang berdosa ini.” Di akhir kisah ini, Yesus menyatakan, bahwa si pemungut cukai pulang sebagai orang yang dibenarkan Tuhan.

Kita dapat melihat perbedaan dua bejana hidup dalam kisah ini. Orang Farisi datang dengan kepuasan dan kebanggaan akan kesalehan hidupnya sebagai orang yang mengenal Tuhan. Dia datang untuk membuat Tuhan terkesan akan bejana hidupnya yang menurut pandangannya sendiri sangat baik. Sedangkan pemungut cukai datang dengan sebuah bejana hati yang hancur, yang tidak meninggalkan sedikit pun kebanggaan atas dirinya di hadapan Tuhan. Dia membawa bejana hidup yang kosong untuk dipenuhi oleh jamahan dan belas kasihan Tuhan. Bukankah banyak kali kita berlaku seperti orang Farisi ketika datang ke hadapan Tuhan? Kita datang dengan kebanggaan diri, merasa diri lebih baik dan lebih benar dari orang lain karena kesalehan hidup yang kita jalani. Kita bukanlah sampah masyarakat, kita bukanlah orang yang jatuh dalam dosa, melainkan kita adalah orang yang dipakai Tuhan. Kita hidup selayaknya sebahai orang percaya, sehingga kita berjalan dalam kesombongan rohani. Tapi tahukah kita, bahwa sasaran utama dari kehidupan kekristenan bukan hanya sampai pada sebuah kesalehan hidup. Tetapi sebuah kehidupan yang benar dan membawa makna bagi orang lain, yang membawa dampak kuasa ilahi, yang mengestafetkan kasih Tuhan kepada dunia. Tidak ada jalan lain untuk membuat Tuhan berkarya sepenuhnya di dalam hidup kita, selain membawa hidup kita sebagai bejana yang kosong di hadapanNya.

David Wilkinson menyatakan, “Tuhan menggunakan manusia untuk melaksanakan segala pekerjaanNya, Ia tidak mengutus malaikat. Malaikat begitu rindu untuk melakukannya tetapi Tuhan tidak memakai malaikat untuk menyelesaikan segala maksudNya di muka bumi. Dia hanya memakai mereka yang terbeban, hancur hati, dan yang berseru-seru kepadaNya.” Bagaimana dengan kita, apa yang menjadi konsep kita mengenai bejana hidup yang kosong? Apakah saat ini kita cukup puas dengan bejana hidup yang kita bawa di hadapan Tuhan? Apakah kita telah sungguh-sungguh menjadi bejana kosong di hadapan Tuhan? Karya tangan Tuhanlah yang akan membuat kita keluar dari kesalehan hidup kepada misi, dari kepuasan diri kepada jiwa yang hancur, dari kesombongan kepada kekosongan. Definisi akhir dari menjadi bejana kosong di hadapanNya adalah “kita tak akan berarti apa-apa tanpa Tuhan”.

Manna Sorgawi, 14 Januari 2012

Leave a comment