Aku Ingin Alkitab

Mazmur 119:159, 165

Kisah berikut ini terjadi beberapa waktu silam di Amerika Serikat. Seorang kakek berkulit hitam dengan tubuh yang bungkuk berdiri di depan pintu kantor lembaga Alkitab. Kebetulan pintu kantor terkuak sedikit. Dari dalam terdengar suara seorang pemuda dari balik meja, “Silahkan masuk Kek, ada yang bisa dibantu?” Pemuda yang ramah itu juga adalah orang Amerika berkulit hitam.

Kakek itu melangkahkan kakinya dengan tertatih-tatih, sepasang kaki yang dibalut sepatu butut dan pakaian yang dikenakannya adalah pakaian usang. “Apakah kalian menjual Alkitab, Nak?” tanyanya. “Betul Kek,” jawab pemuda di balik meja. “Sebelumnya aku ingin bercerita, maukah engkau mendengarnya?” pinta sang kakek. “Tentu, ceritakanlah Kek,” jawab si pemuda penasaran. “Aku masih ingat masa perbudakan dulu. Aku terlahir sebagai seorang budak dan majikanku berkata di perkebunannya tidak boleh ada budak yang belajar membaca dan menulis. Tapi aku ingin sekali belajar, sehingga aku nekat melakukannya. Tidak jarang aku dicambuk jika kedapatan memegang buku. Tapi itu tidak membuatku jera,” tutur sang kakek sambil tertawa. Lalu ia melanjutkan ceritanya, “Setelah itu, aku dan ayahku mengabdi kepada anak majikanku yang sudah berkeluarga. Anaknya ini beda, ia mengizinkan budaknya belajar membaca agar bisa membaca Alkitab. Aku semakin bersemangat, aku membaca Alkitab dan berusaha melakukan perintah Tuhan yang kubaca. Sayang sekali, sekarang aku tidak punya Alkitab lagi. Aku tidak kuat lagi bekerja untuk mendapatkan Alkitab, tapi aku masih bisa membacanya jika saja aku memilikinya.” Sang pemuda terdiam sejenak sambil berpikir mengenai beberapa persediaan Alkitab yang bisa diberikan secara cuma-cuma. “Aku tidak mampu membeli Alkitab Nak, tapi bisakah aku mendapatkan Alkitab dengan bermain suling? Ya aku bisa bermain suling Nak,” kata sang kakek. Maka terdengarlah suara suling nan merdu menggema di seluruh ruangan kantor lembaga Alkitab. Pria muda segera membuka lemari dan memberikan sebuah Alkitab kepada sang kakek. Seketika itu juga permainan suling kakek terhenti. Matanya memandangi Alkitab di atas meja seraya berkata, “Aku bisa memperolehnya tanpa membayar Nak?” “Sesungguhnya Kakek sudah membayarnya ketika dulu Kakek berani dicambuk hanya karena belajar membaca,” sahut sang pemuda ramah. Kakek itu berjalan pulang sambil membaca lembaran-lembaran Alkitab dengan penuh semangat.

Begitu indah jika semua orang percaya memiliki kerinduan yang sama untuk membaca firman Tuhan. Salah satu ukuran kecintaan kita kepada Tuhan adalah keinginan yang besar untuk membaca, mempelajari dan mendengarkan firman Tuhan. Melalui firman Tuhan kita akan mengerti kehendakNya, mengetahui janji-janjiNya, dan mendapatkan tuntunan serta kekuatan setiap hari. Mulailah membaca firman Tuhan dengan setia!

Manna Sorgawi, 21 Desember 2011

Boneka Bayi Yesus

Matius 1:23; Ayub 10:12; 19:25

Tahun ini adalah Natal yang menyedihkan bagiku. Aku merasa sangat getir dan patah semangat karena orang tuaku. Setelah tiga puluh enam tahun menikah, mereka memutuskan untuk bercerai. Aku tak bisa menerima keputusan itu, dan aku menjadi tertekan. Pikiranku terus dipenuhi kenangan masa kecil dan indahnya kebersamaan Natal. Aku khawatir takkan pernah lagi merasakan semangat Natal.

Kini aku telah beranjak dewasa, namun tidak pernah mengerti dan menikmati indahnya suasana dan makna Natal. Suatu kali menjelang Natal, aku pergi ke toko untuk membeli pita dan kertas pembungkus. Setelah melihat antrean panjang di kasir, aku memutuskan untuk membatalkan rencanaku dan meninggalkan toko itu ketika tiba-tiba aku mendengar sebuah bentakan yang tajam dan keras. “Sarah! Keluarkan barang itu dari mulutmu sekarang juga!” “Tapi, Ibu aku tidak memasukkannya ke dalam mulutku! Aku sedang menciumnya, lihat ibu, ini boneka bayi Yesus!” Ketika mendengar suara itu dari lorong sebelah, aku mulai mengintip dari sela-sela rak toko. Aku melihat seorang bocah yang berusia sekitar lima tahun. Dengan pakaian yang agak kumal dan sedikit longgar. Aku terus mengamatinya ketika ia menempelkan boneka kecil itu ke pipinya, dan ia mulai bersenandung. Air mataku perlahan menetes ketika aku mengenali melodinya. Satu lagu kenangan di masa kecilku. Kemudian aku mengalihkan pandanganku ke arah ibunya. Ia tidak memerhatikan anaknya tetapi sibuk mencari barang diskon. Seperti putrinya, ia agak kumal. Dalam kereta belanjanya terdapat bayi kecil yang terbungkus hangat dengan selimut yang sudah kusam. “Ibu!” panggil bocah itu, “bisakah membeli boneka bayi Yesus ini?” Dengan marah perempuan itu berbalik ke arah anak itu untuk melarangnya. Dalam beberapa menit suasana dipenuhi keheningan, perempuan itu pun mulai menangis. Anak kecil itu seolah mengerti keputusasaannya. “Jangan menangis ibu! Aku mohon! Aku minta maaf! Aku tidak ingin boneka ini, lihat aku mengembalikannya! Aku memang tidak benar-benar memerlukan boneka bayi Yesus ini. Ibu tahu kenapa? Karena guru Sekolah Mingguku berkata bahwa sebenarnya Ia hidup di dalam hati kita.” Sang ibu memeluknya, “Maafkan Ibu sayang, kita tak punya cukup uang untuk itu!” Mereka pun berbalik menuju kasir.

Aku menatap boneka itu dan menyadari bahwa Bayi yang dilahirkan di kandang sekitar dua ribu tahun lalu adalah Seorang yang masih berjalan bersama kita sekarang. Ia membuat kehadiranNya diketahui, membantu kita menjalani berbagai kesulitan hidup, jika saja kita memberiNya kesempatan. Untuk bisa ikut merasakan keajaiban Natal dan untuk bisa melihat Tuhan dalam diri Kristus, aku tahu pertama-tama kita harus merasakan kehadiranNya dalam hati kecil kita. Dengan segera aku membelinya dan memberikan boneka itu pada bocah tersebut. Ucapan terima kasihnya yang sederhana telah menyentuh hatiku.

Manna Sorgawi, 20 Desember 2011

Karangan Bunga Spesial

Ayub 23:10; Amsal 24:10

Emilia baru saja menikmati kehidupan yang sangat menyenangkan. Keuangan cukup, kesehatan baik, pekerjaan suami diberkati, para sahabat memedulikannya. Tetapi pada bulan keempat kehamilannya, ia mengalami kecelakaan sehingga harus kehilangan janin yang ada dalam kandungannya. Seolah tidak cukup, perusahaan tempat suaminya bekerja terancam bangkrut. Saudaranya yang setiap tahun datang mengunjunginya, di hari ucapan syukur kali ini tidak bisa datang.

Salah seorang teman Emilia menganjurkan agar ia mengucap syukur atas semua kejadian yang ia alami, karena itu akan mendewasakannya. “Mengucap syukur? Apa yang harus disyukuri? Aku mengalami banyak hal buruk,” gumamnya dalam hati.

Pagi itu Emilia mendatangi toko bunga. “Aku pesan sebuah karangan bunga,” katanya. “Untuk hari ucapan syukur?” tanya penjaga toko. “Tidak. Rasanya tidak ada yang perlu disyukuri, beberapa bulan belakangan ini aku mengalami banyak kejadian menyesakkan,” jawab Emilia. “O, mungkin kau mau mencoba karangan bunga special? Salah seorang pelanggan kami sangat menyukainya karena karangan bunga itu bercerita banyak mengenai jalan hidupnya,” kata penjaga toko menawarkan. Sementara mereka berbincang, seorang wanita bernama Barbara masuk. “Aku mau mengambil pesananku, apakah sudah selesai?” “Tentu, aku sudah menyiapkannya. Mau dimasukkan ke dalam kotak atau tidak?” kata penjaga toko. “Tidak, terima kasih,” jawab Barbara. Penjaga toko pun mengambil karangan bunga pesanan Barbara. Karangan bunga yang lain dari yang lain, hanya rangkaian cabang-cabang mawar beserta durinya, dan tak satu pun kelihatan bunga di sana. Emilia menatap heran. Penjaga toko menjelaskan kepada Emilia, “Tiga tahun yang lalu Barbara datang ke toko ini dengan perasaan seperti yang kau alami saat ini. Ia tidak ada alasan untuk mengucap syukur. Ayahnya meninggal, anaknya terjerat narkoba, usaha keluarganya gagal, dan ia sendiri harus menjalani operasi besar. Aku pun pernah punya pengalaman yang sama. Aku kehilangan suami dan anakku, tidak ada keluarga yang dekat, hutangku menumpuk dan untuk pertama kalinya aku menjalani hidup seorang diri,” tutur penjaga toko. “Lalu apa yang kau lakukan?” tanya Emilia. “Aku belajar mengucap syukur bukan hanya untuk ‘bunga-bunga’, melainkan juga untuk ‘duri-duri’ dalam hidupku, karena itu penting untuk mendewasakanku.” “Kalau begitu, aku pesan karangan bunga spesial itu sebagai ucapan syukurku,” ujar Emilia dengan senyum manis dan wajah penuh sukacita.

Bersyukurlah dan jangan tawar hati ketika dalam kesesakan. Jika selama ini kita hanya bersyukur untuk keadaan yang menyenangkan, kini saatnya kita belajar bersyukur untuk keadaan yang tidak menyenangkan. Di saat melalui lembah kekelaman kita akan menikmati penghiburan dan pemeliharaan khusus, sehingga kita semakin mengenal Dia.

Manna Sorgawi, 19 Desember 2011

Aquarium Kehendak Tuhan

1 Tesalonika 2:12

Apakah yang harus selalu ada dalam pikiran kita saat melalui hari demi hari? Suatu pertanyaan penting, yang jawabannya akan menjadi filosofi dalam kehidupan kita. Apakah kita menempatkan hal-hal duniawi, kekayaan, kekuasaan, dan penghargaan, sebagai hal yang mendominasi pikiran kita setiap hari, yang membuat kita menjadi orang Kristen duniawi. Ataukah kita menempatkan kehendak Tuhan di atas segalanya sehingga berada dalam perahu kehidupan yang dinakhodai oleh Tuhan.

Seperti Yakobus katakan, “Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” (Yak 4:15). Kita harus seperti ikan yang bernafas dan bergerak di dalam aquarium kehendak Tuhan. Apabila kita mencoba bernafas dan bergerak di luar aquarium kehendak Tuhan, maka perlahan kita akan mulai kehabisan oksigen dari Tuhan. Dan hidup kita pun mulai berada dalam sebuah jalan persimpangan menuju kesia-siaan. Dunia mencari kekayaan, tetapi firman Tuhan berkata, “Berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya.” Ini berbicara tentang fokus kehidupan karena pernyataan kehendak Tuhan di bumi seperti di Sorga jauh lebih penting. Dunia mencari kekuasaan, tetapi firman Tuhan berkata, “dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba.” Kekuasaan yang tanpa pengenalan akan Tuhan akan mendatangkan keangkuhan hidup. Di mana keangkuhan hidup berkuasa makan Tuhan tidak lagi menjadi pusat dari kehidupan kita. Tetapi kerendahan hati menjadi sebuah mutiara kehidupan di mata Tuhan. Dunia mencari penghargaan, tetapi firman Tuhan berkata, “Sebab barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan.” Penghargaan yang sejati bukan datang dari manusia karena bersifat sementara, melainkan dari Tuhan yang mendatangkan sebuah mahkota kehidupan.

Apakah fokus kita dalam hidup ini? Kekayaan, kekuasaan, dan penghargaan dunia, ataukah kehendak Tuhan, kerendahan hati, dan penghargaan dari Tuhan? Satu kebenaran penting yang harus kita pegang, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah …” (Rm 12:2). Fokus kehidupan manusia 100% ditentukan dari pola pikirannya. Bagaimana kita mengisi pikiran setiap hari, akan menentukan arah hidup kita. Jika kita menginginkan Tuhan menjadi fokus kehidupan, maka kita harus memberi makan pikiran kita setiap hari dengan firman Tuhan. Hal ini merupakan jalan untuk membuat kita tidak menjadi serupa dengan dunia. “Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataanMu, maka aku menikmatinya; firmanMu itu menjadi kegirangan bagiku, dan menjadi kesukaan hatiku, sebab namaMu telah diserukan atasku, ya TUHAN, Allah semesta alam.” (Yer 15:16). Jadikanlah Tuhan melalui firmanNya menjadi nakhoda hidup kita!

Manna Sorgawi, 18 Desember 2011