Duduk di Kaki Tuhan Yesus

Lukas 10 : 38-42

Dr. John G. Mitchell adalah seorang gembala jemaat di Grand Rapids, Michigan. Suatu kali, ia mendengar ada seorang pemuda di gerejanya yang hendak meninggalkan Amerika Serikat untuk menjadi utusan Injil di Cina. Sebelum keberangkatannya dengan kapal laut, pemuda ini mengirimkan telegram kepada Pendeta Mitchell dan meminta gembalanya itu untuk memberi nasihat kepadanya sebagai bekal dalam pelayanannya di ladang misi tersebut. Segera Pendeta Mitchell membalas melalui telegram juga. Nasihatnya sangat singkat, namun maknanya sangat dalam, “Duduklah di kaki Tuhan Yesus, kemudian beritahukan kepada orang-orang Cina apa yang kamu lihat.

Ketika Tuhan Yesus datang berkunjung ke rumah Maria dan Marta, maka Marta sibuk sekali melayani. Tentu saja sibuk melayani adalah sebuah perbuatan yang baik. Tidak ada indikasi bahwa Marta termasuk orang yang “duniawi”, tidak “rohani”. Ini juga tidak menunjukkan bahwa ia termasuk orang yang serakah di dalam masalah harta. Apa yang dilakukan Marta adalah hal yang biasa dilakukan orang-orang di sana pada waktu itu, yaitu hendak menjamu tamunya dengan baik. Bahkan, ini sebenarnya menunjukkan kemurahan hati dan keramahannya. Namun, kesibukannya ini justru membuatnya terlihat nampak gelisah dan khawatir. Bahkan, yang terpenting di dalam hidupnya, yaitu bersekutu secara pribadi dengan Tuhan Yesus pun menjadi terabaikan. Sikap yang berbeda diambil oleh Maria, ia duduk di dekat kaki Tuhan Yesus dan terus mendengar perkataanNya. Hal ini membuat Marta merasa terganggu dan ia meminta Tuhan Yesus untuk menyuruh saudaranya itu membantunya. Tetapi, Tuhan Yesus malah menegur Marta. Apa yang membuat Marta ditegur? Apakah semata-mata karena kesibukannya melayani? Tentu saja tidak! Yang membuat Marta ditegur oleh Tuhan Yesus adalah karena ia lebih mementingkan pelayanannya ketimbang bersekutu secara pribadi dengan Tuhan Yesus. Sebaliknya, Tuhan Yesus memuji sikap Maria, yang lebih memilih untuk duduk di dekat kakiNya dan mendengar perkataanNya.

Sering kali kita terlalu sibuk dengan aktivitas pelayanan kita, sehingga kita melupakan persekutuan pribadi dengan Tuhan Yesus. Kita terlalu bangga dengan apa yang kita lakukan. Kita lupa bahwa sumber kekuatan kita untuk melakukan pelayanan adalah dari Tuhan Yesus sendiri, di mana itu hanya bisa diperoleh ketika kita memiliki persekutuan pribadi denganNya. Tuhan Yesus senang kita melayani, Tuhan Yesus senang kita terlibat di dalam melakukan pekerjaanNya. Namun, Ia lebih senang jika kita tidak melupakan atau mengabaikan untuk duduk di kakiNya dan mendengar perkataanNya. Seorang yang melupakan atau mengabaikan persekutuan pribadi dengan Tuhan Yesus akan mudah gelisah dan khawatir, seperti Marta. Mari, sediakan waktu untuk persekutuan pribadi dengan Tuhan Yesus, sesibuk apa pun kita. Bahkan, dahulukan persekutuan itu sebelum beraktivitas dan melayani!

Manna Sorgawi, 14 November 2012

 

“Hakikat kehidupan bukanlah peristiwa-peristiwa besar, melainkan saat-saat keseharian.” – Rose Kennedy

Penolong Dalam Berdoa

Roma 8:26-27

Dalam bukunya yang berjudul “Doa Syafaat”, Dutch Sheets menceritakan tentang seorang hamba Tuhan yang mendisiplin dirinya berdoa selama satu jam setiap hari. Pada suatu hari, hamba Tuhan itu merasakan dorongan Roh Kudus yang kuat agar ia berdoa lebih lama, sehingga ia melanjutkan doanya sampai dua jam. Setelah berdoa selama dua jam, ia masih merasakan dorongan yang kuat untuk berdoa lagi, sehingga ia tetap berdoa sampai tiga jam. Ia meminta perlindungan Tuhan dan berkat-berkat untuk hari itu, serta untuk beberapa hal lainnya. Setelah dorongan untuk berdoa itu tidak ada lagi, ia berhenti berdoa. Sore harinya, ketika sedang memotong rumput di halaman rumahnya, ia merasakan sesuatu yang bergerak dengan cepat melewati kakinya. Ketika menoleh ke bawah, ia melihat ada seekor ular berbisa di tanah dan sedang berusaha menyerangnya. Anehnya, serangan ular tesebut selalu gagal. Ular itu tidak dapat mematuk kakinya dan hanya dapat bergerak kian ke mari di sisi kakinya.

Di tempat lain, ada seorang rekan saya yang juga menyaksikan tentang dorongan Roh Kudus di dalam doa pribadinya. Ada waktu khusus baginya untuk berdoa setiap hari. Suatu ketika, saat ia berdoa, di dalam pikirannya terbayang dengan jelas wajah seorang teman perempuannya. Ia tidak tahu sama sekali mengapa hal itu terjadi. Tetapi, ia berkesimpulan bahwa orang itu perlu didoalan saat itu. Karena ia tidak tahu apa yang harus didoakan, maka ia hanya berdoa bagi perlindungan Tuhan terhadap teman perempuannya itu. Beberapa waktu kemudian, ia bertemu dengan perempuan tersebut. Rekan saya bertanya tentang keadaan permpuan tersebut, secara khusus tentang apa yang dialamninya ketika rekan saya itu berdoa. Perempuan itu bercerita, “Saya berkenalan dengan seorang laki-laki ketika saya sedang dalam perjalanan menggunakan kapal laut. Orang itu kemudian membawa saya ke ruang tertutup dan ingin memerkosa saya. Saya tidak bisa keluar, karena orang itu terlalu kuat bagi saya. Tetapi, ketika saya berteriak kepada Yesus, saya merasakan seperti ada kekuatan lain yang menolong saya, sehingga saya bisa meloloskan diri dari orang tersebut.” Tuhan menyelamatkan perempuan itu. Rekan saya menjadi yakin bahwa Tuhan mendengar doa yang dia naikkan berdasarkan dorongan Roh Kudus tersebut.

Itulah contoh bagaimana cara Roh Kudus menolong kita di dalam berdoa. Adakalanya kita tidak tahu bagaimana seharusnya berdoa. Kita tidak tahu apa yang terbaik bagi kita dan bagi orang lain. Kita tidak tahu apa yang akan Tuhan berikan kepada kita dan kepada orang lain. Bahkan, kita tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi kebutuhan kita dan kebutuhan orang lain. Saat itulah Roh Kudus berdoa bagi kita. Roh Kudus akan menyampaikannya kepada Bapa. Dan, Bapa mengerti maksud Roh Kudus tersebut, sebab Ia berdoa bagi kita sesuai dengan kehendak Bapa. Bersyukurlah karena kita memiliki Penolong sejati!

Manna Sorgawi, 13 November 2012

 

“Hidup tanpa teman, bagaikan kematian tanpa saksi.” – Pepatah Jerman

Membuang Perkataan Kotor

Efesus 4:29; 5:4

Kanzo Uchimura adalah seorang penginjil dan penulis Kristen berkebangsaan Jepang, yang bertobat pada tahun 1878. Ada hal yang cukup menarik untuk diperhatikan pada saat Uchimura mendapat kesempatan untuk meneruskan studi ke Amerika Serikat. Ia sangat terkejut dengan kehidupan orang Amerika. Awalnya ia membayangkan bahwa sebagai negeri Kristen, pastilah penduduk Amerika Serikat memakai kata-kata yang alkitabiah dan menyanyikan nyanyian rohani saja, seperti yang digambarkan oleh pekabar Injil Amerika kepadanya pada saat ia berada di Jepang. Namun, alangkah terkejutnya ia ketika di pelabuhan mendengar buruh-buruh pelabuhan mengeluarkan kata-kata kotor. Bagi Uchimura, kata-kata kotor tidaklah seharusnya diucapkan oleh orang-orang Kristen. Hal itu memang tidak sampai membuat Uchimura kecewa, tetapi sejak saat itu, ia mulai bisa membedakan antara kekristenan yang sesungguhnya dengan penduduk Amerika Serikat yang adalah Kristen. Ia mulai menyadari, seorang yang mengaku beragama Kristen tidaklah menjamin bahwa ia telah mempraktekkan firman Tuhan di dalam hidupnya; tidak menjamin bahwa ia tidak lagi mengucapkan kata-kata kotor.

Dalam pengajarannya tentang manusia baru, Paulus menegaskan bahwa sebagai manusia baru, orang percaya dilarang mengeluarkan kata-kata kotor dari mulutnya. Kata-kata kotor itu bisa membuat orang lain tersandung dan jatuh. Untuk itu, orang percaya harus mengganti kata-kata kotor itu dengan kata-kata yang membangun. Kata-kata yang membangun adalah kata-kata yang baik, yang dalam hal ini berarti berguna. Itu sama saja berarti bahwa kata-kata kotor adalah kata-kata yang tidak berguna, tidak berguna bagi kehidupan jasmani maupun rohani. Di sisi lain, kata-kata kotor disejajarkan dengan kata-kata yang sembrono, sebuah olokan atau canda yang keterlaluan, yang memojokkan orang lain. Tentu saja ini tidak pantas, tidak pantas untuk keluar dari mulut orang percaya dan tidak pantas untuk diterima orang lain. Oleh sebab itu, orang percaya harus mengganti kata-kata kotor dengan kata-kata yang berisi ucapan syukur kepada Tuhan. Nampaknya inilah yang sesuai dengan karakter Kristen.

Kata-kata kotor tidak hanya terdengar pada zaman Alkitab dan tidak hanya di jemaat yang ada di Efesus saja. Juga, tidak hanya didengar oleh Kanzo Uchimura dan di Amerika Serikat saja. Kata-kata kotor sering terdengar di mana kita berada. Di tempat umum, di kepadatan lalu lintas, di tempat kerja, di sekolah, di rumah, bahkan kadang di gereja, kita bisa mendengar kata-kata kotor. Apa bedanya orang Kristen dengan orang lain kalau mereka juga mengeluarkan kata-kata kotor itu? Bukan hanya tidak berbeda, tetapi juga semakin membuat orang lain enggan untuk belajar dan menerima kekristenan. Di sinilah nama Tuhan dihujat! Untuk itu, mari dengan hikmat kita menggunakan lidah dan mulut kita. Buang kata-kata kotor, ganti dengan kata-kata yang dapat menjadi berkat bagi orang lain.

Manna Sorgawi, 12 November 2012

 

“Hati-hati dengan seseorang yang belajar hanya dari satu buku” – Pepatah Latin

Ketika Neraka Diremehkan

Yohanes 3:16-18; Markus 16:15-16

Suatu ketika, dua orang pilot pesawat ruang angkasa berdebat mengenai Neraka. Seorang di antara mereka adalah ateis, yang tidak percaya akan adanya Tuhan, Sorga dan Neraka; sedangkan seorang lagi adalah Kristen. Dengan sombong pilot ateis tersebut berkata bahwa ia telah menjelajahi seluruh bumi ini, bahkan hingga ke ruang angkasa, namun ia tidak pernah bertemu dengan Neraka. Lalu ia menantang pilot Kristen tersebut, apakah ia dapat menunjukkan Neraka kepadanya. Ia berkata, jika pilot Kristen tersebut dapat menunjukkan Neraka kepadanya, maka ia akan menjadi seorang Kristen. Pilot Kristen itu menjawab bahwa menemukan Neraka adalah hal yang mudah. Jika pilot ateis itu ingin menemukan Neraka, maka ia tinggal meloncat keluar dari pesawatnya saja, maka ia akan langsung menemukan Neraka.

Alkitab secara gamblang mengatakan bahwa Neraka itu sunggu nyata. Zaman sekarang banyak orang menganggap remeh masalah Neraka. Seperti pilot ateis tersebut, mereka berpikir bahwa Neraka itu tidak sungguh-sungguh nyata. Mereka memberikan berbagai alasan mengapa Neraka tidak sungguh-sungguh nyata. Salah satu yang sering dikemukakan adalah tentang sifat Tuhan yang maha pengasih. Mereka berkata bahwa jika Tuhan itu maha pengasih, maka Ia tidak akan mungkin membuang manusia ciptaanNya ke dalam Neraka. Orang-orang seperti ini sesungguhnya tidak memahami akan keadilan Tuhan. Tuhan memang maha pengasih, namun Dia juga maha adil. Kasih dan keadilan Tuhan selalu berjalan secara bersamaan, seperti dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan. Tuhan mengasihi kita orang berdosa, karena itulah Tuhan Yesus harus datang ke dunia ini untuk mati di kayu salib. Dengan demikian Dia bisa menyelamatkan hidup kita dari hukuman dosa. Namun, jika kita tidak percaya dan tidak menerima Dia, maka kita sendirilah yang akan menanggung hukuman dosa. Itulah keadilan Tuhan.

Neraka yang semula ditujukan untuk Iblis, akan dihuni juga oleh orang-orang yang tidak percaya bahwa Tuhan Yesus telah mati untuk menebus hukuman dosa manusia dan tidak menerimaNya sebagai Tuhan dan Juruselamatnya secara pribadi. Dengan demikian, sangat banyak orang yang sedang mengantre menuju Neraka. Apakah kita tega melihat mereka yang sedang berbondong-bondong menuju kebinasaan itu? Seharusnya hati kita tergugah ketika melihat atau mendengar ada banyak orang yang seperti pilot ateis tersebut. Kita berkewajiban memberitahu dan meyakinkan semua orang bahwa Neraka itu ada. Di sisi lain, sambil memberitakan akan keberadaan Neraka, sekaligus kita juga memberitakan keberadaan Sorga. Dan, kabar baiknya adalah bahwa Sorga itu diperuntukkan bagi mereka yang mau percaya dan menerima Yesus secara pribadi. Namun, prinsipnya adalah bahwa kita hanya memberitakan, keputusan terserah pada mereka yang mendengarnya!

Manna Sorgawi, 11 November 2012

 

“Hidup menjadi terasa mudah jika kita pernah merasakan kesusahan” – Anonim

Tuhan Tidak Pernah Menjauh

Ulangan 31:8; Yakobus 4:8

Sepasang suami-istri sedang berkendara di jalan raya. Setelah beberapa lama berdiam diri, si istri menarik napas panjang dan berkata kepada suaminya yang sedang menyetir di sebelahnya, “Kamu masih ingat tidak, waktu kita dulu masih muda, kita selalu duduk berdekatan di mobil?” Tidak lama kemudian suaminya pun menyahut, “Saya ingat. Tetapi kamu tahu kan, saya tidak pernah menjauh dari kamu?” Pertanyaan yang muncul dari mulu sang istri sesungguhnya menunjukkan perasaannya, di mana dia merasa suaminya menjauh dari dirinya.

Sebagai anak-anak Tuhan, sering kali kita bersikap seperti wanita tersebut. Kita mengira bahwa Tuhan telah menjauh dari kita dan meninggalkan kita. Kita mulai menyalahkan Tuhan karena kita menganggap bahwa Dia tidak memedulikan kita lagi. Namun, kita tidak sadar bahwa sesungguhnya kitalah yang menjauh dari Tuhan dan meninggalkanNya, karena Tuhan tidak pernah meninggalkan anak-anakNya. Dia tetap berada di tempatNya, kitalah yang bergerak dan yang menjauh dari Tuhan. Jadi, jika Tuhan terasa jauh dari kita, sebenarnya bukan Dia yang menjauh dari kita, tetapi kitalah yang menjauhkan diri dariNya. Ini adalah sebuah prinsip kebenaran yang perlu kita ketahui.

Dalam perjalanan di padang gurun, bangsa Israel pernah berkata, “Adakah TUHAN di tengah-tengah kita atau tidak?” Mereka berkata seperti itu saat mereka mengalami kesulitan air. Padahal, sebelumnya mereka telah menyaksikan mujizat air pahit menjadi manis. Bahkan sampai saat itu, mereka merasakan pemeliharaan Tuhan, yaitu dengan turunnya manna dari langit. Tidak berhenti sampai di situ saja, mereka bahkan meminta Harun membuatkan patung anak lembu emas yang mereka anggap sebagai sosol yang akan memimpin mereka. Mereka bertindak seakan-akan Tuhan tidak bersama mereka lagi. Sungguh keterlaluan! Di pihak lain, Musa selalu berbuat sesuatu yang menunjukkan bahwa Tuhan bersama dengan dia, Tuhan tidak pernah meninggalkananya. Itulah sebabnya, ketika posisinya sebagai pemimpin bangsa Israel hendak digantikan Yosua, dia menegaskan kepada Yosua tentang Pribadi Tuhan yang akan senantiasa menyertai hambaNya. Musa berharap Yosua menyadari itu dan menjadi kuat ketika harus memimpin bangsa Israel yang tegar tengkuk itu.

Mungkin kita bertanya, “Kapan kita menjauh dari Tuhan dan meninggalkanNya?” Nasihat yang diberikan Yakobus supaya kita menahirkan diri dan mendekatkan diri kepada Tuhan menunjukkan bahwa yang membuat kita jauh dari Tuhan adalah kenajisan atau dosa kita. Artinya, kita menjauh dari Tuhan saat kita berbuat dosa. Nasihat ini sejalan dengan apa yang diajarkan Tuhan Yesus, yaitu ketika kita berbuat jahat, maka kita sedang menjauh dari “terang”, yang pengertiannya sejajar dengan menjauh dari Tuhan. Untuk itu, mari kita mengakui dosa kita, dan hidup dalam kekudusan, sehingga kita bisa dekat dengan Tuhan.

Manna Sorgawi, 10 November 2012

 

“Hanya mereka yang mengambil risiko berjalan terlalu jauh yang bisa tahu seberapa jauh mereka bisa pergi.” – T.S. Elliot

Bahagia dan Panjang Umur

Efesus 6:1-3

Ada seorang perempuan yang tidak menghormati orang tuanya. Perempuan ini telah punya usaha yang cukup berhasil. Namun demikian, ia kurang peduli kepada ibunya. Di masa tuanya, dengan tubuh yang sering sekali sakit, ibunya sering diabaikannya. Sebenarnya, perempuan ini mempunyai beberapa saudara yang lain, yang semuanya sudah bekerja. Namun, karena keadaan ekonominya lebih baik dibanding saudara-saudaranya itu, maka saudara-saudaranya pun selalu mengandalkannya untuk lebih berperan di dalam membantu ibu mereka. Mereka semakin berharap kepadanya tatkala penyakit ibunya semakin parah dan harus dibawa ke rumah sakit dengan biaya yang cukup besar. Sebenarnya, secara materi perempuan ini mampu untuk membawa ibunya berobat ke rumah sakit. Tetapi, ia tidak melakukannya, karena ia merasa kesal dengan saudara-saudaranya yang hanya mengandalkannya untuk membantu biaya pengobatan ibunya. Bahkan, ketika ibunya sudah kritis, ia dengan sengaja membiarkannya begitu saja, dengan harapan saudara-saudaranya yang lain akan membantunya. Namun, ia harus membayar mahal perbuatannya tersebut. Tidak lama kemudian, ibunya pun menghembuskan napas terakhirnya, suatu hal yang kemudian sangat disesalinya.

Alkitab dengan tegas mengajarkan agar kita menghormati orang tua kita. Tujuannya jelas, agar kita hidup bahagia dan panjang umur. Bagaimanakah bentuk penghormatan kita kepada orang tua kita? Ada tiga bentuk penghormatan yang bisa kita berikan kepada orang tua kita: Pertama, mendengar pertimbangan mereka menyangkut masa depan kita, termasuk jodoh. Banyak orang yang berkata, “Yang menjalani adalah saya, bukan orang tua saya, jadi sayalah yang menentukan jodoh saya.” Tetapi, tidak sedikit orang yang kemudian menyesal dengan jodoh pilihannya, karena ia dulu tidak mendengarkan masukan orang tuanya. Tidak berarti semua saran mereka harus diterima, tetapi perlu dipertimbangkan. Toh tidak ada orang tua yang ingin anaknya tidak bahagia bukan? Kedua, memerhatikan mereka secara materi, khususnya ketika mereka tidak bisa lagi bekerja atau tidak punya penghasilan tetap. Kita perlu membantu mereka dalam hal keuangan sehingga kebutuhan mereka sehari-hari tercukupi. Ketiga, mengurus mereka di masa tuanya. Tidak cukup dengan hanya memberi materi kepada orang tua kita. Jika sudah tua, sakit-sakitan, dan tidak bisa beraktivitas lahi, lebih baik kita mengurus sendiri mereka daripada mengirimnya ke panti jompo. Banyak orang tua yang kepahitan kepada anaknya karena mereka dititipkan di panti jompo. Bagi orang tua, itu dianggap sebagai “pembuangan” oleh anak.

Derek Prince berkata bahwa tidak ada seorang pun yang menghormati orang tuanya yang ridak akan mengalami kebahagiaan di dalam hidupnya. Jadi, jika Anda ingin hidup bahagia dan sejahtera, hormatilah orang tua Anda.

Manna Sorgawi, 9 November 2012

 

“Hadapi kekurangan Anda dan akui itu, tetapi jangan membiarkannya menguasai Anda. Biarkanlah ia mengajarkan kepada Anda tentang kesabaran dan pengertian.” – Helen Keller

Hati-hati Dengan Pergaulan!

Amsal 13:20; 1 Korintus 15:33

Beberapa tahun yang lalu, saya mengunjungi seorang rekan yang pernah bersama-sama melayani. Dia sudah saya anggap sebagai kakak rohani, sebab dia jauh lebih senior dari saya, baik dari segi pengalaman pelayanan yang cukup lama maupun dari segi usia. Kakak perempuannya berkata kepada saya bahwa adiknya tersebut sudah “rusak” karena pergaulannya yang tidak benar. Dia meminta saya untuk mengajak adiknya kembali ke gereja, supaya dia mempunyai teman di gereja dan tidak lagi bergaul dengan orang-orang yang memengaruhinya sampai menjadi rusak. Memang adiknya tersebut sudah “jatuh” terlalu dalam. Hal yang lebih menyedihkan lagi adalah bahwa dia menjadi pecinta sesama jenis. Sangat memprihatinkan! Beberapa kali saya bertemu dengannya, namun sambutannya selalu dingin. Dia sama sekali tidak tertarik lagi dengan hal-hal rohani. Dia bahkan tidak pernah mau datang lagi ke gereja dan tidak bergaul lagi dengan saudara seiman. Dia berdalih bahwa pelayanan di gereja tidak ada gunanya sama sekali, sebab hanya melayani orang-orang yang sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Pelayanan tertinggi menurutnya adalah melayani orang-orang non-Kristen, yang belum pecaya kepada Tuhan Yesus, khususnya mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Dan menurutnya, itulah yang dia lakukan selama ini. Tetapi, dia tidak sadar bahwa dia telah rusak akibat meninggalkan pergaulannya yang sehat dengan teman-teman gereja dan menjalin pergaulan yang tidak sehat dengan orang-orang yang tidak percaya, yang justru telah menghancurkan hidupnya.

Betapa pergaulan yang buruk dapat merusak kebiasaan yang baik! Itulah sebabnya, menjaga pergaulan sangat penting di dalam hidup kita. Sebab, pergaulan kita akan sangat memengaruhi kehidupan kita, baik pada masa kini, maupun pada masa yang akan datang. Pergaulan yang positif akan membuat diri kita menjadi positif. Sebaliknya, pergaulan yang negatif akan membuat diri kita menjadi negatif. Pergaulan yang baik akan membangun hidup kita, sedangkan pergaulan yang buruk akan merusak hidup kita. Banyak orang yang tadinya baik-baik saja, namun berubah menjadi orang yang “rusak” karena mempunyai pergaulan yang kurang baik. Banyak orang yang terlibat judi, minuman keras, seks bebas, narkoba, dll, awalnya hanyalah sekadar ikut-ikutan teman sepergaulan. Namun, lama-kelamaan akhirnya hal itu merusak hidup mereka.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjada pergaulan dan memilah-milah dengan siapa kita bergaul. Jangan sampai hidup kita rusak karena salah bergaul. Ada istilah yang berkata, “Tunjukkanlah kepadaku siapa teman-temanmu, maka aku akan menunjukkan kepadamu siapa kamu yang sebenarnya.” Hal ini menggambarkan kepada kita bahwa baik-buruknya keadaan hidup kita sangat dipengaruhi oleh pergaulan kita. Jadi, hati-hatilah dengan pergaulan Anda. Bergaullah secara bijak!

Manna Sorgawi, 8 November 2012

 

“Hari yang dipergunakan dengan baik mendatangkan tidur nyenyak. Demikian pula, kehidupan yang dipergunakan dengan baik mendatangkan kematian yang membahagiakan.” – Leonardo da Vinci

Hagar dan Anak Perhambaan (Seminggu Bersama Hagar – Hari 7)

Galatia 4:21-31

Hagar di dalam PB sama dengan Hagar di dalam PL, tetapi kali ini dikisahkan ulang oleh Paulus. Kisah Hagar di dalam PB hanya mengambil sebagian saja dari kisah Hagar di dalam PL. Paulus mengambil kisah Hagar untuk menjelaskan masalah perhambaan rohani, sekaligus dibandingkan dengan masalah kemerdekaan rohani.

Secara hukum, Hagar adalah seorang hamba dan tidak pernah menjadi orang merdeka, sekalipun dia pernah menjadi istri Abraham. Dengan demikian, anak yang dilahirkan Hagar adalah anak perhambaan. Ada tiga fakta penting yang berkaitan dengan anak perhambaan, yaitu:

Anak perhambaan dilahirkan menurut daging. Ismael disebut sebagai anak yang lahir menurut daging karena bukan merupakan anak perjanjian. Sara yang mendesak Abraham untuk mengambil Hagar menjadi istrinya dan melahirkan anak baginya. Sementara itu, anak perjanjian adalah anak yang lahir dari Sara. Proses mengandung dan melahirkan dari anak yang lahir menurut daging berjalan secara alami. Sebaliknya, ada mujizat yang terjadi dalam proses mengandung dan melahirkan dari anak perjanjian. Ada pekerjaan Yang Mahakuasa di sana. Jika dikaitkan dengan masalah rohani, anak perhambaan menunjuk kepada manusia pada umumnya yang lahir menurut daging, oleh keinginan seorang laki-laki. Sementara itu, anak perjanjian menunjuk kepada orang-orang yang sudah lahir baru, yang sudah lahir dari firman dan Roh. Di sini pun ada pekerjaan Yang Mahakuasa.

Anak perhambaan menganiaya anak perjanjian. Ismael menganiaya Ishak. Menganiaya di sini bisa secara fisik, bisa juga dalam kata-kata. Demikian juga dengan orang yang belum percaya, menganiaya orang percaya. Penganiayaan yang dilakukan terhadap orang percaya terjadi sejak gereja mula-mula sampai sekarang, bahkan sampai sesaat sebelum Yesus datang menjemput gerejaNya. Penganiayaan secara fisik sudah dirasakan oleh gereja mula-mula, dan sampai sekarang pun masih sangat nyata. Demikian juga dengan ejekan-ejekan yang dilontarkan kepada orang percaya, baik secara langsung maupun dalam bentuk tulisan.

Anak perhambaan akhirnya tersingkirkan. Yang menjadi pewaris Abraham adalah Ishak, sementara itu Ismael disingkirkan dari hadapan Abraham. Dalam kaitannya dengan masalah rohani, yang berhak mewarisi Kerajaan Sorga adalah orang percaya, sementara itu manusia pada umumnya harus tersingkir dari hadapan Tuhan.

Betapa bahagianya kita karena kita bukan anak-anak perhambaan. Kita adalah anak-anak perjanjian, anak-anak yang sudah lahir baru. Kalaupun saat ini kita mengalami aniaya, jangan berkecil hati, karena itu hanya sementara. Pada saatnya kita akan menerima warisan Kerajaan Sorga. Yang penting di sini adalah ketekunan dalam menghadapi setiap masalah, dan kesetiaan di dalam mengikut Tuhan.

Manna Sorgawi, 7 November 2012

 

“Orang yang bercita-cita tinggi adalah orang yang menganggap teguran keras baginya lebih lembut daripada sanjungan merdu seorang penjilat yang berlebih-lebihan.” – Thales

Hamba Yang Diperhatikan Tuhan (Seminggu Bersama Hagar – Hari 6)

Kejadian 21:17-21

Sungguh malang nasib Hagar! Dari segi status sosial, dia belum pernah benar-benar bebas dari perhambaan. Sekalipun menjadi istri kedua Abraham, tetapi dia tetap sebagai hamba Sara. Dari segi hubungan keluarga, dia saat ini harus tersingkir dari hadapan suaminya. Dari segi ekonomi, dia pun sekarang harus berjuang ekstra keras untuk memenuhi kebutuhannya, apalagi menjadi single parent. Perjuangan hidup yang tidak ringan bagi seorang perempuan.

Perjalanan “terpaksa” Hagar dan anaknya terhenti di padang gurun Bersyeba. Alasannya sangat jelas, yaitu karena air yang ada di kirbat sudah habis. Menarik untuk diperhatikan bahwa Abraham memberi bekal kepada Hagar dan anaknya hanya roti dan sekirbat air. Tentu tidak ada maksud Abraham supaya Hagar dan Ismael kehausan dan mati di padang gurun. Beberapa ahli Alkitab berpendapat bahwa Abraham sudah memperkirakan kalau sekirbat air itu cukup bagi Hagar dan Ismael untuk sampai di sebuah sumur yang telah dia tunjukkan sebelumnya. Beberapa ahli yang lain berpendapat bahwa Abraham menghendaki supaya Hagar dan Ismael tidak pergi terlalu jauh, sehingga sekirbat air sudah cukup bagi mereka. Bagaimanapun juga, kenyataan yang sekarang dihadapi adalah kehabisan air di tengah padang gurun yang tandus dan sinar matahari yang menyengat. Kecil kemungkinan untuk berharap Abraham tahu akan hal ini. Mengharapkan tiba-tiba ada hujan juga bagai pungguk yang merindukan bulan. Hagar hanya bisa menangis. Bahkan bayang-bayang kematian anaknya sudah ada di depan matanya, “Tidak tahan aku melihat anak itu mati.” Sebuah penderitaan yang sangat berat, baik secara fisik maupun jiwa. Namun, Tuhan tidak membiarkannya, Tuhan tetap memerhatikannya. Tuhan memulihkan jiwa Hagar dengan memerhatikan tangisan anaknya. Dengan demikian Hagar menjadi yakin bahwa anaknya tidak akan mati kehausan. Di sini lain, Tuhan memulihkan fisik Hagar dengan memberinya air dari sumur yang baru bisa dia lihat setelah Tuhan membuka matanya. Perhatian Tuhan kepada sang hamba ini semata-mata hanya karena dia adalah ibu dari anak Abraham, di mana tentang anak itu Tuhan sudah berjanji untuk membuatnya menjadi bangsa yang besar.

Kepada Hagar, sekali lagi Tuhan menunjukkan diri sebagai Pribadi yang bisa diandalkan. PerhatianNya kepada Hagar yang adalah seorang hamba seharusnya membuat kita semakin memercayaiNya. Mungkin saat ini kita sedang mengalami masalah yang berat yang membuat jiwa kita tergoncang, bahkan mungkin juga membuat tubuh kita sakit. Jangan pernah putus asa! Kita memiliki Tuhan yang bisa diandalkan. Yang diperlukan di sini adalah jangan andalkan kekuatan sendiri, tetapi serahkan segala permasalahan kita kepadaNya. Percayalah bahwa Dia mau dan mampu menolong kita. Nantikan pertolonganNya dengan sabar, penuh harap dan iman.

Manna Sorgawi, 6 November 2012

 

“Janganlah berputus asa. Tetapi kalau Anda sampai berada dalam keadaan putus asa, berjuanglah terus meskipun dalam keadaan putus asa.” – Anonim

Hamba Yang Tersingkirkan (Seminggu Bersama Hagar – Hari 5)

Kejadian 21:8-16

Tidak ada orang yang senang disingkirkan! Apalagi jika disingkirkan dari posisi yang selama ini sudah terasa nyaman. Tetapi, Hagar harus mengalaminya. Hagar disingkirkan dari hadapan Abraham. Selama bertahun-tahun, dia sudah mendapat tempat sebagai ibu dari anak yang diharapkan menjadi pewaris Abraham. Ismael sendiri, seakan-akan sudah sah menjadi pewaris Abraham, karena memang saat itu tidak ada yang lain. Tetapi, semuanya buyar ketika Ishak lahir.

Pemicu dari penyingkiran itu adalah karena Ismael, anak Hagar, main dengan Ishak, anak Sara. Mungkinkah hanya karena main? Yang dimaksud dengan “main” di sini (Ibr, metsacheq) adalah mempermainkan. Ismael mempermainkan Ishak. Paulus menyebutnya dengan istilah “menganiaya”, “Tetapi seperti dahulu, dia, yang diperanakkan menurut daging, menganiaya yang diperanakkan menurut Roh, demikian juga sekarang ini.” (Gal 4:29). Tidak ada orang yang suka anaknya dipermainkan orang lain. Ismael saat itu bukan anak-anak lagi, usianya sudah 17 tahun, karena ketika itu Ishak baru disapih, yang menurut tradisi usianya 3 tahun. Ismael sudah tahu salah dan benar. Jadi, mempermainkan Ishak adalah tindakan yang disengaja. Tidak heran kalau hal ini menimbulkan kemarahan besar dalam diri Sara. Maka, Sara pun meminta Abraham mengusir Hagar beserta anaknya.

Dasar dari penyingkiran itu adalah keyakinan Sara tentang pewaris Abraham yang sesungguhnya. Keyakinan Sara ditunjukkan dalam perkataannya yang tegas, “… sebab anak hamba ini tidak akan menjadi ahli waris bersama-sama dengan anakku Ishak.” Keyakinan Sara itu benar karena sesuai dengan janji Tuhan. Bahkan, Tuhan juga menguatkan apa yang diyakini Sara, yaitu ketika Dia berbicara kepada Abraham yang ragu-ragu (Kej 21:12). Hagar bersama anaknya memang harus disingkirkan, karena kalau tidak, pasti akan mengganggu proses penggenapan janji Tuhan tentang Ishak sebagai pewaris Abraham. Andai Hagar tidak disingkirkan, pasti dia tidak rela melihat Ishak menerima warisan dari Abraham, sementara Ismael tidak menerima apa-apa. Sudah pasti Hagar akan berusaha meminya Abraham untuk memberikan warisan kepada Ismael juga. Bisa dibayangkan betapa kacaunya keluarga tersebut jika hal itu benar-benar terjadi.

Sungguh, Hagar sakit hati, tetapi itulah kenyataan yang harus diterima. Harapan tinggal harapan, tidak akan pernah menjadi kenyataan. Hilang sudah masa-masa indah hidup bersama Abraham. Kini, hidupnya dibayang-bayangi oleh penderitaan dan kehinaan. Sebenarnya Abraham juga tidak tega, tetapi dia lebih menuruti firman Tuhan daripada perasaannya.

Kita tidak pernah bisa melawan ketetapan Tuhan. Yang diperlukan di sini adalah taat dan setia kepada ketetapan itu. Kadang kita harus menyingkirkan perasaan, bahkan perasaan sayang sekalipun, supaya kita dapat menjadi bagian dalam mewujudkan ketetapan Tuhan.

Manna Sorgawi, 5 November 2012

 

“Hambatan adalah hal-hal yang Anda lihat saat Anda mengalihkan pandangan dari tujuan.” – Henry Ford